Selasa, 19 April 2011

Aku bukan Tuhan


Aku ingin menceritakan sebuah cerita yang aku piker cukup penting untuk aku ceritakan. Ceritanya tentang pengalaman sahabatku yang selama ini aku panggil dengan nama CARIN. Di dalam cerita aku akan menempatkan diriku sebagai Carin, agar kamu tidak sulit untuk memahami ceritanya.
Kata orang-orang aku ini termasuk wanita yang cukup cantik. Penampilanku lumayan, tubuhku juga termasuk ideal untuk ukuran masa kini.
Aku membutuhkan banyak biaya untuk menghidupi keluargaku. Ayah dan Ibuku sudah lama bercerai, bahkan sejak aku bayi aku tidak pernahk merasakan bagaimana nikmatnya mempunyai seorang ayah. Adikku masih duduk di bangku SMU, sedangkan ibuku aku larang untuk bekerja. Dari peninggalan ayah tiriku yang tidak lain adalah ayah dari adikku, ibu menghidupi kami dari bunga deposito yang sangat pas-pasan.
Aku tidak melanjutkan sekolahku setelah SMU. Selain karena aku tidak suka belajar, aku memang lebih memilih bekerja sebagai jruu ketik Bu Yayuk, seorang pengacara yang sangat baik. Dia memberiku pekerjaan dan membayarku dengan gaji  yang lumayan.
Saat ini aku sedang mencoba menyentuh lahan baru yang sebelumnya tidak pernah aku bayangkan. Temanku Mila, mendaftarkan aku pada sebuah perusahaan film untuk menjadi seorang aktris. Jalan hidupku ternyata begitu mudah, begitu pula dnegan Mila. Setelah melalui casting akhirnya aku mendapat sebiah peran yang tidak tanggung-tanggung. Aku menjadi pemeran utama unntuk filmnya yang terbaru. Sementara Mila pun mendapatkan peran yang cukup penting. Amkanya, dua bulan ini aku bekerja keras mempelajari scenario yang diberikan. Aku tidak mau mengecewakan banyak pihak.
Hari 9ini aku dipanggil dating ke kantor J film. Aku pergi dengan penampilanku yang apa adanya.n aku memang suka memakai sandal jepit, celana kampret dan kaos oblong. Sebelumnya aku belum pernah datang ke kantor itu. Segala sesuatunya aku urus di kantor agency tempat aku mendaftarkan diri.
Tengah hari aku sampai di sana. Kantor ini tidak speertti yang aku bayangkan sebelumnya. Bentuknya seperti sebuah kantor kelurahan. Ruangannya sangat kecil, dan berdebu. Aku tidak melihat satu pegawaipun yang penampilannya menarik. Aku juga tidak bias membedakan mana yang sekretaris, mana yang satpam.
Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya aku dopersilahkan masuk ke ruang direktur yang mereka sebut-sebut sebagai Mr. Kumar.m aku baru tahu bahwa ternyata pemilik perusahaan ini adalah seorang pria muda, bahkan dia masih sangat muda untuk menyandang predikat DIREKTUR.
“please…silahkan duduk.”
Sebelum duduk, aku semapt melihat dengan sudut mataku bahwa Mr. Kumar sedang menelanjangiku dari ujung rambut hingga ujung kaki.
“bagaimana? Apakah sudah kamu pelajari naskahnya? Ada yang ingin saya perlihatkan pada kamu. Saya punya contoh desain untuk warna-warna yang nanti akan kita buat, dan rasanya kamu harus semua detailnya.”
Kamu terlibat dalam diskusi yang cukup panjang. Aku bisa menarik kesimpulan bahwa Mr. kumar orang sangat perfeksionis dan professional. Aku kagum, lelaki semuda itu bisa bekerja sangat baik.
Sejak saat itu aku dan Mr. Kumar sering berhubungan, kalau tidak lewat telp ya sms. Kita sering bertukar pikiran dan saling member masukan untuk film yang akan aku perankan nanti. Aku berhasil membuang jauh-jauh tentang image seorang eksekutif dilm berbangsa india yang sering dianggap mengerikan oleh banyak orang. Aku piker Mr. Kumar adalah pribadi yang cukup menyenangkan, terbuka, dan sangat detail dengan segala sesuatu yang berurusan dengan filmnya.
Sebenarnya aku sempat ragu menerima pekerjaan ini, karena aku sadar ini bikan bidangku, dan juga bukanlah impianku menjadi seorang bintang. Tapi berkat dorongan teman-teman dan keluargaku, akhirnya aku terima juga pekerjaan ini. Terlebih algi setelah aku bertemu Mr. Kumar, aku semakin yakin bahwa aku telah bekerja pada orang yang tepat, orang sangat memerhatikan kualitas dari sebuah karya yang ingin dihasilkan.
Beberapa minggu ini pekerjaan ku menjadi sedikit padar. Aku hamper tidak punya waktu untuk istirahatapalagi bersenang-senang dengan teman-temanku. Padahal aku sebenarnya hobi sekali nongkrong di mal atau nonton film di bioskop. Yah, itupun kalau aku baru gajian.
Sekarang ini di sela-sela makan jam siang kantor, aku yang biasanya bisa sedikit member kelonggaran bagi jari-jariku yang sejak pagi kupakai untuk mnegetik, kali ini aku harus bergaul dengan scenario film yang memang harus pelajari dan aku dalami. Aku tidak bisa acting. Makanya aku tidak mau, ornag hanya menghargaiku karena aku mempunyai tampang lumayan, tidak lebih dari itu.
Akhirnya aku mendapat jadwal syuting. Lega sekali rasanya. Tinggal selangkah lagi, akan tiba untuk waktuku unjuk gigi, tapi yang terpenting dari semua itu adalah kerja dan kerka. Yah memang semua ini aku lakukan semata-mata sebagai pekerjaan saja. Kini aku tinggal menunggu calling dari kru film.
Berminggu-minggu aku menunggu saat itu tiba, saat dimana akhirnya aku isa mencoba kemampuanku, saat dimana akhirnya aku ibnsa melakukan semua yang selama hamper dua bulan ini kupelajari dengan keras. Tapi sampai hari yang seharusnya terjadi syuting pertama, aku tidak pernah menerima calling dari mereka. Aku memutuskan untuk pergi menemui Mr. Kumar.
Siang hari sampai di kantornya. Disana aku diterima dengan baik oleh pak Karno yang biasa menjaga meja paling depan untuk menerima tamu. Dan aku dipersilahkan menemui Mr. Kumar di ruangannya.
Aku tidak pernah mengalami kesulitan menemui Mr. Muda itu, padahal yang lain banyak sekali yang harus menunggu berjam-jam. Aku masuk ke ruangannya dan langsung melihat Mr. Kumar yang sedang asyik menandatangani sesuatu.
“carin saya minta maaf sebelumnya karena kemarin saya sangat sibuk sehingga tidak sempat menghubungi kamu. Setelah saya piker-pikir, saya rasa peran itu tidak cocok untuk kamu, dan saya sudah menggantikannya dengan orang lain. Nanti bila ada cerita yang saya rasa cocok buat kamu, saya akan menghubungi kamu lagi, ok?!”
Saat itu juga merasa pipiku ditampar oleh sebuah tangan yang sangat besar. Rasanya panas sekali. Ulu hatiku mual, seperti bila aku tidak makan 3 hari. Dadaku sakit seperti kena irisan silet yang dikucuri jeruk nipis. Uhhh… perih sekali! Aku tidak bisa membendung kemarahan dan kekecewaanku. Tanpa berpikir panjang aku merobek naskah itu dan aku lemparkan tepat mengenai wajah Mr. Kumar yang saat itu di mataku dia tidak lebih seperti iblis yang buruk rupa.
“Makan nih naskah. Bapak piker bisa melecehkan saya seenaknya. Salah apa saya? Saya sudah berusaha berlatih semuanya, saya mengorbankan waktu yang begitu lama untuk mendalami naskah JELEK ini. Sungguh Bapak adalah manusia yang tidak paunya hati, pecuma dilahirkan sebagai orang kaya yang berpendidikan tinggi, jika ternyata bapak sama sekali tidak mempunyai budi pekerti. Bapak tidak tahu etika sama sekali. Saya bersumpah, bapak tidak akan pernah hidup dalam kedamaian karena selalu bertindak berdasarkan otak tumpul. Bapak tidak punya hati nurani!!!”
Aku terus menghujaninya dengan umpatan-umpatan yang betul-betul spontan keluar dari mulutku.
“it’s a business, Carin.”
“Ahhh…peduli setan sama bisnis murahan Bapak!”
Aku membanting pintu kantor yang jelek itu dan pergi melewati beberapa pegawai yang memandangiku penuh heran. Aku berhenti di salah satu meja
“apa liat-liat? Belum pernah liat orang marah ya?”
Salah satu dari mereka cekikikan dan mengacungkan jempl. Sepertinya dia pun pernah menjadi korban keangkuhan Bog Bss mereka dan men Support habis ulahku yang gila itu.
Sekeluar aku dari kantornya, Mr. Kumar berdiri dnegan mulut terbuka lebar, seperti orang yang baru saja melihat nayat. Nampaknya dia sangat shock karena mungkin selama ini tidak satu pun orang yang berani bertindak sekurang ajar itu padanya.
Hari-hari berikutnya, Mr. Kumar seperti biasa datang ke kantor. Tapi kali ini ada yang lain dari biasanya. Wajahnya sering murung, dan dia sering melamun di belakang meja kerjanya, tanpa melakuykan apa-apa. Aku sendiri kembali pada rutinitasku seperti biasa: membantu bu Yayuk mengetik file-file kasus yang sedang dia tangani.
Aku sangat sakit hati dengan kenyataan pahit ini. Tapi itu tidak berlangsung lama karena dalam beberapa hari aku segera bisa melupakan semuanya.
Sore itu aku pulang lebih awal karena tidak ada lagi yang bisa aku kerjakan di kantor bu Yayuk. Aku tengah berdiri di depan halte bus, ketika tiba-tiba sebuah mobil mewah berhenti tepat di depanku. Kaca mobil itu terbuka dan muncullah seraut wajah yang taka sing lagi bagiku. Wajah yang sebenarnya tidak ingin aku lihat lagi dalam kehidupanku.
“Carin…saya mau bicara, bisa nggak kamu masuk mobil saya? Ada yang ingin saya bicarakan.”
Aku tidak menjawab, dan tidak ingin menginginkan tawaran itu. Tiba-tiba saja kupingku tarasa menjadi tuli, tidak bisa mendengara apa-apa, samapi akhirnya aku tersandar bahwa antrian mobil sudah sangat panjang. Bunyi klakson mobil itu berhasil menyembuhkan ketulianku. Tuan sialan itu tidak juga mau memajukan mobilnya, padahal dia tahu persis bahwa ulanhnya telah membuat jalanan menjadi macet. Aku menjadi tidak enak melihat suasana itu. Aku tahu Tuan brengsek itu tidak akan pernah pergi sebelum aku menaiki mobilnya. Akhirnya dengan penuh kebencian aku masuk ke dalam dan duduk di sebelah Mr. Kumar.
Lama sekali kami saling diam dan tidak berkata apa-apa. Aku merasa ini hanya buang-buang waktu saja. Wajahku tidak dapat menyembunyikan kebencian yang sangat mendalam terhadap Mr. Kumar.
Setelah sekian lama akhirnya aku mulai membuka mulut.
“apa yang mau lo bicarakan sama gue? Lo mau bilang sekarang udah punya cerita yan cocok buat gue? Begitu? Heh, jangan lo harap gue mau lo kibulin lagi ya. Nggak penting buat gue jadi bintang film, gue masih bisa cari makan dengan cara lain.”
Mr. Kumar berusaha menyembunyikan kepanikan yang sejak tadi terlihat jelas olehku. Aku tidak lagi memanggilnya “Bapak”, tapi “lo”.
“saya Cuma mau minta maaf, Cartin”.
Aku terdiam untuk beberapa saat.wajah itu tidak lagi seperti yang ditemuinya beberapa waktu lalu. Sekarang wajah itu lebih redup, bahkan tidak lagi terlihat keangkuhan di matanya. Tapi sepertinya hatiku tetap saja tidak bisa mempercayai apapun sikap dan kata-katanya.
“ yah, saya maafin. Sekarang saya mau turun, udah sore nih. Pak supir tolong pinggirkan mobilnya Pak!”
“Jangan Pak! Carin…saya belum selesai bicara, saya masih mau…?”
“Masih mau ap[a? Masih mau nipu? Pantes saja Tuhan menciptakan lo dengan hidung yang sangat panjang, persis pinokio, karena lo emang tikang bohongseperti pinokio. Kalo lo nggak mau berhentiin nih mobil, gue akan berteriak, cepet berhenti , Pak!”
Mr. Kumat tidak sanggup[ melawan kekerasan niatku untuk menghentikan mobil. Akhirnya mobil berhenti dan menepi. Aku langsung membuka pintu dan keluar tanpa menunggu mobil berhenti sempurna. Aku terus saja berjalan dan tidak mempedulikanm lagi mobil Mr. Kumar yang lama-lama mulai menjauh dan hilang dari penglihatanku.
Aku tidak pernah menduga kalau ulahku membuat Mila menjadi ikut tersingkir dari film itu, Mila datang dan menangis mengadukan semuanya kepadaku. Aku semakin geram dan rasanya aku ingin melayangkan pukulan kearah muka pinokionya itu.
Hari itu aku pergi ke kantor J film dengan membawa sekarung rasa benci dan marah di dadaku yang sebentar lagi siap untuk meledak.
Tidak seperti biasanya, hari itu aku menunggu cukup lama di ruangan kecil tempat para tamu biasa menunggu. Ruangan itu sumpek dan panas sekali. Seorang perempuan dari bagian casting menghampiriku. Dia mencoba membuka obrolan dengan ku.
“saya tahu kau kecewa, tapi dunia bisnis ini memang begini. Kamu harus terbiasa dengan ini semua, atau kalo kamu amu, kenapa kamu tidak tuntut saja secara hokum?”
“apa? Tuntut? Kebagusan lagi. Tau nggak? Hal seperti ini tidak begitu penting dalam hidup gue, Cuma buang waktu saja. Gue malah kasian melihat mbak, kok bisa ya? Orang berkerudung seperti mbak, kerja pada seorang tuan yang tidak berhati seperti pinokio.”
“pinokio? Siapa itu?”
Aku tidak semangat menjawab pertanyaannya. Aku spontan berdiri dan nyelonong masuk ruangan dimana tempat pinokio bekerja. Pintunya tidak di kuncisehingga dengan mudah aku bisa masuk.
Aku tidak membuka pertemuan dnegan basa-basi yang tidak penting. Aku sudah tak sanggup ingin membuang semua kalimat-kalimat sampah yang busuk untuk pinokio.
“kalo lo nggak suka sama gue, y ague aja dong yang lo bikin sengsara, kenapa Mila jug lo keluarin. Apa salah dia? Lo hanya berurusan sama gue, ngak usah bawa-bawa temen gue.”
Aku langsung menyemprot Mr. Kumar dengan semua kata-kata yang sejak tadi aku simpan. Aku tidak menyangka sama sekali kalau Mr. Kumar yang selama ini hanya diam bila aku bentak, kali ini malah bertindak sebaliknya. Dia menarik leher bajuku dan mendorong aku ke salah satu sudit ruangan.
“kamu sudah keterlaluan Carin!”
Tangannya yang panjang dan berbulu itu sudah siap melayangkan tamparan yang hebat ke wajahku. Aku betul-betul terpojok. Aku memejamkan mata dalam-dalam dan siap menerima tamparan itu. Aku merasakan nafasnya terengah-engah tepat didepan hidungku, sepertinya dia berusaha sekuat tenaga menahan kemarahannya. Wajah kami hamper tak berjarak. Beberapa saat kemudian nafas itu mulai tenang, dia mulai merenggangkan cengkeraman tangannya, dan melepaskan aku yang terkulai duduk di lantai marmer. Lantai itu bagiku sangat mirip dengan kamar mandi sebuah hotel berbintang yang sudah kuno.
Kami berdua duduk terkulai lemas seperti orang yang baru saja berhasil melewati garis finis setelah lari marathon berkilo-kilo. Tidak sepatah katapun yang keluar dari mulutku maupun dari mulutnya. Kami hanya menunduk, aku tidak tahu apa yang sedang dipikirkan olehnya. Aku sendiri merasa kosong. Aku kehilangan kata-kata yang sebenarnya sudah aku susn dengan baik dari rumah tadi.
“aku memecat mila, biar kamu datang kesini. Aku tahu persis, kamu akan datang dan membela temanmu itu, maafkan saya, Carin! Saya tidak tahu lagi, harus dengan cara apa agar kamu bisa memaafkan saya, dan mau berteman lagi dengan saya seperti dulu. Sebelum semua ini terjadi, saya cukup bahagia mempunyai teman yang sangat smart, sangat terbuka, sangat jujur, dan apa adanya. Saya menyesal telah menggantikan kamu dengan yang lain. Saya tahu kamu tidak akan pernah mau lagi bekerja sama dengan saya, tapi saya mau kamu tetap bisa menjadi teman saya. Banyak hal yang bisa saya dapat dari kamu. Keadaan ini menjadi pelajaran yang sangat berharga buat saya. Saya masih ingin bisa berdiskusi banyak hal dengan kamu.”
Aku tidakpernah menyangka seorang tuan yang sangat sombong seperti dai, hari ini duduk dihadapanku dengan keadaan yang begitu menyedihkan. Dia begitu kecil, begitu lemah dan sama sekali tak berdaya.
Aku berdiri dan mengambil sebatang rokok dari dalam tasku. Aku tidak mempedulikan tulisan dilarang merokok yang dengan jelas tergantung di salah satu dindingnya. Aku terus mengisap dan memuntahkan asapnya di ruangan itu. Pikiranku masih kosong, aku tidak puny aide apa-apa untuk mengomentari semua pernyataan tadi.
Tiba-tiba saja mulutku dnegan spontan mengeluarkan kata-kata yang mungkin tidak pantas aku ucapkan.
“Kenapa kamu tidak mati saja? Orang sombong seperti kamu tidak pantas hidup di muka bumi ini.”
Mr. Kumar berdiri dan menarik tubuhku hingga aku berdiri berhadapan dengannya. Dia mengambil tanganku, memungut rokokku dan melemparkan jauh ke sudut. Tanganku diremas sangat keras. Dia memukul dadanya dengan tanganku berulang-uang kali.
“pukul saja kalau kau masih marah, tapi apa kamu juga tidak bisa memaafkan orang yang sidah sangat tulus menyesali kesalahannya?”
“sudah, sudah…jangan sepertianak kecil, saya sudah memaafkan kamu, jauh sebelum kata maaf itu kamu ucapkan. Saya sudah melupakan semuanya, sekarang biarkan saya pergi dari sini dan jangan ganggu saya lagi. Disini bukan tempat saya, saya juga toh tidak pernah mengganggu hidup kamu kan? Jadi biarlah sekarang kita berjalan menurut prinsip masing-masing. Masih banyak orang yang mau berteman dan bekerja dengan kamu. Kamu punya perusahaan yang sangat besar. Tidak mungkin orang menolak bekerja untuk kamu.saya benar-benar sudah memaafkan kamu. Tidak ada dendam sama sekali di hati saya.
Saya ingin melupakan semuanya, jadi bantulah saya, tolong, jangan temui saya lagi, jangan buat macam-macam lagi di kehidupan saya. Hidup saya masih panjang, masih banyak yang harus saya lakukan, untuk saya, untuk adik saya, dan untukkeluarga saya. Saya Cuma minta satu hal dari kamu, tolonglah, jangan jadikan mila sebagai umpan dari segala rencana-rencana kamu lagi. Jangan kamu orang yang sudah dengan tulus bekerja dnegan baik buat kamu.”
Aku memaksa melepaskan diri dari pelukan tangannya, dan aku keluar dari ruangan itu, meninggalkan Mr. Kumar yang tertunduk tan[a bisa berkata apa-apa lagi.
Aku belum ingin naik bis menuju rumahku. Aku masih ingin berjalan menikmati perasaan lega di dadaku. Aku seperti baru saja keluar dari masalah yang sangat besar. Masalah yang mungkin bagi sebagian orang biasa-biasa saja, tapi bagiku ini sangat menyakitkan.
Sejak saat itu aku tidak pernah tahu dan tidak mau tahu lagi kabar Mr. Kumar. Suatu hari dia pernah mengirim sms sekedar untuk “say hai” dan menanyakan kabarku, tapiaku tidak pernah membalasnya. Aku benar-benar ingin melupakan peristiwa itu. Aku tidak menaruh dendam pada pinokio itu. Aku tetap selalu mengenang dia sebagai tuan kaya raya yang berhati miskin. Aku mendoakan semoga Tuhan mengampuni segala kekhilafannya. Bagaimanapun juga Mr. Kumar adalah sebuah nama yang pernah mengisi lembaran kehidupanku. Aku tidak akan pernah bisa menghapusnya. Biarlah aku tetap menyimpanya di bagian halaman hatiku yang tidak akan pernah aku buka lagi.
Kini aku bisa lebih mengerti lagi tentang  hidup. Sebagai manusia, kita memang tercipta denagn karakter kebaikan dan kejahatan yang berbeda-beda. Aku bukan Tuhan, maka dari itu aku tidak bisa dengan tulus dan sejujur-jujurnya melupakan apapun yang melukai hatiku. Aku perpikir apakah mungkin aku tidak boleh menikmati kebahagiaan dan kesuksesan dalam hidup ? dosa kalau pikiran seperti itu aku diampkan berkembang dalam hatiku.
Kini aku sangat yakin, kalau aku mendapatkan kenyataan pahit, itu karena Tuhan tahu persis bahwa aku bisa mengatasinya. Aku tidak bisa membayangkan bila ini terjadi pada Mr. Kuar. Prang selemah dia mungkin tidak akan sanggup menghadapi kenyataan [ahit. Kekuatannya hanya ada pada uang dan seluruh kekayaan yang telah membuat orang bersedia denagn senang hati memangginya Tuan atau MR.
Selintas aku mengingat wajah angkuhnya itu, dan aku iba dengan keadaan moralnya yang sangat menyedihkan. Maafkan aku pinokio, aku tetap tidak ingin membuka hati dan diriku untuk berteman lagi. Karena kau BUKAN TUHAN.

By Melly G dalam “Arrrrrgh…”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar