Senin, 09 Mei 2011

gender




Dari skema di atas dapat dipahami bahwa antara sex dan gender sama, sama-sama jenis kelamin, yang antara keduanya saling melengkapi dan membutuhkan, yang membedakan adalah dimana sex merupakan given by god, sedangkan gender merupakan pandangan atau keyakinan yang dibentuk masyarakat tertentu. Misalnya seorang perempuan ideal harus pandai memasak, pandai merawat diri, lemah-lembut, atau keyakinan bahwa perempuan adalah mahluk yang sensitif, emosional, selalu memakai perasaan. Sebaliknya seorang laki-laki sering dilukiskan berjiwa pemimpin, pelindung, kepala rumah-tangga, rasional, tegas dan sebagainya.

Karena adanya pandangan yang terkotak-kotak semacam itu, sehingga tidak hanya membuat perempuan saja yang mempunyai beban karena dianggap egois, tidak rasional dan agresif ketika mengekspresikan keinginan dan kebutuhannya, akan tetapi juga laki-laki yang senantiasa bersembunyi di balik topeng maskulinitasnya.
Akan tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa, karena gender merupakan rekayasa dari sebuah masyarakat antara kaum laki-laki dan perempuan, maka relasi gender yang cenderung kurang adil terhadap perempuan sulit dihindarkan, sehingga timbullah diskriminasi sosial yang mengakibatkan adanya stereotip terhadap perempuan (misal perempuan dianggap kurang cerdas), subordinasi (anggapan bahwa perempuan lemah, tidak berdaya), marginalisasi (misal, perempuan selalu menjadi nomor dua), beban ganda, dan violence (KDRT).

Gender dalam Islam
pada dasarnya Islam itu menekankan keadilan (Ta’addul) dan keseimbangan (Tawazun) atau bahasa Inggrisnya Equality dalam berbagai aspek kehidupan. Relasi gender dalam kehidupan cenderung kurang adil dan ini merupakan penyimpangan dari spirit Islam yang menekankan keadilan. Ada beberapa masalah yang menciptakan relasi Gender dalam kehidupan kurang berlangsung dengan baik dan adil, yaitu terkait dengan teologi (pandangan agama), kebudayaan, dan politik.
1. Dalam bidang teologi, banyak ditemui penafsiran keagamaan terhadap ayat atau hadis yang tidak sesuai dengan prinsip keadilan gender, sebaliknya bias pada laki-laki.
2. Di bidang kebudayaan, terdapat kebudayaan partiarkhi, yakni kebudayaan yang ”memapankan peran laki-laki untuk melakukan apa saja dan menentukan apa saja disadari atau tidak”. Sebaliknya perempuan berada dalam sisi subordinat, tidak layak di wilayah publik. Seharusnya kita harus melihat kembali secara kritis paham–paham kebudayaan yang bias laki-laki. Seperti halnya pandangan perempuan hanya menempati wilayah domistik dan laki-laki wilayah publik itu hanya sebagai konstruk sosial bukan sesuatu yang bersifat alamiah yang berawal dari biologis antara laki-laki dan perempuan.
3. Dalam segi politik banyak praktek politik yang mendiskriminasikan perempuan, kurangnya perempuan menduduki struktur strategis. Sehingga representative perempuan dalam mengambil keputusan dalam setiap sektor terabaikan dan minimnya pengarus utamaan gender.
Guna menjawab pemasalahan diatas dan membuktikan bahwa Islam menekankan Tawazun adalah Al-Qur’an sebagai sumber utama, secara teologis Islam telah mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan, Seperti ayat tentang kedudukan laki-laki ” qowwamun ” dalam al-Nisa’:34 bukanlah laki –laki secara umum tetapi suami. Karena konsideran lanjutannya ayat tersebut adalah karena para suami menafkahkan sebagian hartanya untuk istri mereka. Seandainya kata laki adalah kaum pria secara umum, tentu konsiderannya tidak begitu. Lebih jauh lagi ayat tersebut berbicara tentang persoalan pembagian kerja rumah tangga antara suami dan istri. Jadi diskriminasi atas perempuan dalam ranah publik tidak bisa dibenarkan.
Semua manusia setara di hadapan Allah SWT dan tak ada perbedaan yang dibuat antara laki-laki dan perempuan. Manusia karena fitrahnya mampu mendaki rangkaian gradasi kesempurnaan spiritual, atau yang berpuncak kedekatan maksimum di hadapan kehadiran Ilahi.
Proses ini ditentukan oleh kesalehan. Tentunya kesalehan ini dapat di temukan, baik pada laki-laki maupun perempuan, dalam kapasitas yang sama. Manusia yang paling baik adalah yang paling soleh. Melalui kesalehan inilah, manusia dapat mencapai kesempurnaan spiritual tertinggi. Potensi ke arah pertumbuhan spiritual tidak dianugrahkan pada makhluk lain. Hanya manusia saja yang mampu meraih kesempurnaan dan menjadi wakil (Kholifah) Allah SWT.
Apa yang ditekankan di sini adalah bahwa individu-individu yang berilmu dan saleh semuanya adalah satu jenis dan tak seorangpun superior dari pada yang lain dikarnakan gender..
Gender dalam Struktur Sosial.
Baik laki-laki maupun perempuan memiliki sebuah tanggung jawab terhadap masyarakat, tempat mereka hidup. Keduanya memiliki tugas yang sama untuk melindungi masyarakat dari polusi dan kontaminasi. Sebagaimana pria mengambil peran aktif dan menikmati hak-hak sosialnya, perempuan juga memiliki hak dan tanggung jawab yang sama. Al-Quran menyatakan:

Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari jenis yang sama dan darinya Allah menciptakan pasangannya dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan lelaki dan perempuan yang banyak.

Demikian Al-Quran menolak pandangan-pandangan yang membedakan (lelaki dan perempuan) dengan menegaskan bahwa keduanya berasal dari satu jenis yang sama dan bahwa dari keduanya secara bersama-sama Tuhan mengembangbiakkan keturunannya baik yang lelaki maupun yang perempuan.

Pria tidaklah superior ketimbang perempuan dalam hal tanggung jawab dan hak-hak sosial. Tugas-tugas kemasyarakatan haruslah dialokasikan diantara semua jenis seks sesuai kapabilitas dan kapasitas masing-masing. Dengan dasar ini, al-Quran suci berbicara tentang pembagian kerja dan tugas diantara pria dan perempuan berkaitan dengan karakter masing-masing yang memang berbeda–beda. Haruslah di pahami bahwa ini bukanlah berarti diskriminasi karena diskriminasi mencakup pengambilan hak–hak seseorang yang sah dan islam benar-benar menentang itu. Ada jaminan atas hak-hak yang setara tidaklah berimplikasi bahwa pria dan perempuan tidak berbeda satu sama yang lain. Al-Quran menyatakan sebagai berikut :
Di tempat lain, Al-Quran menyatakan:
Sesungguhnya kami telah mengemukakan amanat kepada langit , bumi , dan gunung-gunung .maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan menghianatinya , dan dipikullah amanat itu oleh manusia.
Dengan Demikian, manusia memikul amanat sosial yang ditawarkan kepadanya dan semuanya , baik kader pria maupun kader perempuan, memiliki tanggung jawab yang sama terhadapnya.
Oleh karena itu, teologi ini harus menjadi perangkat berfikir yang realistis dan mesin pendorong yang paling efektif bagi perempuan keluar dari kerangkeng kebudayaan dan diskriminasi serta sepirit untuk perjuangan dalam berzikir, fikir, dan beramal soleh. Cara berfikir diatas akan menjadi apresiasi penting bagi kaum feminis untuk keluar dari tipuan sesat teori feminis yang Eropa centris yang juga menghancurkan nilai-nilai ketuhanan dan terlalu sekular, liberal, dan tidak begitu memiliki artikulasi penting bagi perubahan social yang berwatak kemanusiaan atau sesuai dengan kearifan budaya local Indonesia.
Gender dalam politik
Setiap manusia berhak menduduki jabatan politik, termasuk didalamnya perempuan, Karena tidak ada teks yang secara tegas melarangnya. Hak perempuan di bidang politik meruupakan hak syar’I, jika dlaam masa lalu perempuan tidak menggunakan hak ini, bukan berarti perempuan tidak boleh dna tidak mampu, akan tetapi karena system partiarkhat yang terjadi di Negara kita, sehingga hak politik perempuan tidak diakui, oleh Karena itu, hak tersebut perlu dituntut dna dianggap urgen, terutama disaat sekarang ini. Apalagi dalam konteks pemberdayaan peran politik perempuan di Indonesia, hak tersebut secara legal formal telah terjamin eksistensinya.
Seperti yang terkandung dalam UUD 1945 pasal 28I ayat (2) yang menyebutkan: “Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif .”
Masyarakat, khususnya perempuan, bersyukur dan berbahagia karena dengan pasal tersebut mereka memiliki payung konstitusional dalam memperjuangkan hak-hak politiknya.Termasuk di sini masalah affirmative action dalam bentuk kuota 30% perempuan di parlemen.
Gender dalam pendidikan
Kesenjangan pada sektor pendidikan telah menjadi faktor utama yang paling berpengaruh terhadap bias gender secara menyeluruh. Hampir pada semua sektor, seperti lapangan pekerjaan, jabatan, peran di masyarakat, sampai pada masalah menyuarakan pendapat, antara laki-laki dan perempuan yang menjadi faktor penyebab terjadinya bias gender adalah karena latar belakang pendidikan yang belum setara. Hal yang sangat penting adalah bahwa kesetaraan gender itu harus didukung dengan perlindungan hukum dan berbekal pendidikan yang memadai, karena perjuangan kesetaraan gender yang hakiki adalah perjuangan kesetaraan gender dalam dunia pendidikan dan perlindungan hukum. Sehingga kejadian-kejadian buruk seringkali menimpa kaum perempuan dikarenakan kurangnya pengetahuan atau pendidikan.
Kita punya banyak landasan, mulai dari al-Qur’an yang menganjurkan semua manusia untuk berpendidikan, sesuai dalam ayat yang artinya “Bacalah demi Tuhanmu yang telah menciptakan... Keistimewaan manusia yang menjadikan para malaikat diperintahkan sujud kepadanya adalah karena makhluk ini memiliki pengetahuan (QS 2:31-34).
kemudian teori-teori barat yang salah satunya adalah Teori Poststrukturalis dan Postmodernisme, yang isinya antara lain melihat diskursus-diskursus yang ada dalam dunia pendidikan yang melakukan operasi bawah sadar sehingga terjadi penaturalan bahasa-bahasa yang bias gender. Oleh sebab itu, teori ini bukan saja mengajak mereka yang berkepentingan dengan pendidikan untuk merubah kurikulum tetapi melihat bagaimana kurikulum bias gender terbentuk dan beroperasi secara luas.
Ayolah para perempuan / cewek untuk berpendidikan, penting banget bagi Qt….!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar